Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash (Yang Tetap Berpikiran Jernih Dalam Kekacauan)

Dia adalah putra Amru bin Ash, orang yang cerdik bahkan cenderung licik, yang melakukan ‘trik’ terhadap wakil Ali bin Abu Thalib dalam tahkim di Daumatu-Jandal, sehingga Mu’awiyyah dinobatkan sebagai khalifah dan Ali dijatuhkan.

Tapi sang putra, Abdullah bin Amru bin Ash, adalah seorang ‘ahli ibadah’, dan lagi masuk Islam lebih dulu dari ayahnya. Hatinya selalu dipenuhi ruh Islam, karena ia sangat tekun belajar dan menghafal Al-Qurãn. Banyak orang menyebutkan sebagai “orang yang dilahirkan untuk menjadi orang suci”.

Setiap ada tugas perang, ia selalu di barisan terdepan, karena ingin mati syahid.  Dalam kehidupan sehari-hari, siangnya ia selalu berpuasa dan malamnya selalu bertahajud. Pendeknya, ia beribadah sampai pada tahap seperti menyiksa diri. Dan ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah, beliau pun marah. “Mengapa sebelum ini tak ada yang melaporkan kepadaku bahwa kamu berpuasa setiap hari dan bertahajud setiap malam? Hai, Abdullah! Sudah cukup bagimu dengan hanya berpuasa tiga hari dalam sebulan!”

“Saya sanggup melakukan lebih dari itu, ya Rasulullah,” jawab Abdullah.

“Kalau begitu, berpuasalah dua hari seminggu,” kata Rasulullah.

“Saya sanggup lebih dari itu.”

“Kalau begitu, mengapa tidak kamu lakukan saja puasa yang terbaik, yaitu puasa Nabi Daud? Beliau berpuasa sehari, dan berbuka sehari. (Seperti disebut dalam hadis Bukhari).

Selanjutnya, Rasulullah juga menyoal kebiasaan Abdullah mengkhatamkan Al-Qurãn setiap malam. Beliau khawatir hal itu malah akan membuatnya jadi jenuh (bosan). “Tamatkanlah membacanya sekali dalam sebulan,” kata Rasulullah.

“Saya sanggup lebih dari itu, ya Rasulullah,” jawabnya.

“Kalau begitu, tamatkanlah dalam sepuluh hari sekali,” kata Rasulullah.

“Saya sanggup lebih dari itu,” jawab Abullah pula.

“Kalau begitu, cukup kamu tamatkan dalam tiga hari sekali saja!” tegas Rasulullah. (Seperti tertera dalam hadis Bukhari).

Dan ternyata Abdullah berusia panjang, sehingga pada suatu hari ia pun bergumam pada diri sendiri, “Alangkah baiknya bila dulu aku memanfaatkan keringanan yang diajarkan Rasulullah kepadaku.”

Ketika terjadi perseteruan antara Mu’awiyyah dan Ali, Abdullah memihak Mu’awiyyah, karena ia mengingat sabda Rasulullah: Laksanakan perintahku, dan patuhilah ayahmu.

Sebelumnya, sang ayah – Amru bin Ash – dalam peristiwa Hunain, mengatakan kepadanya, “Bersiaplah! Hari ini kamu akan berperang bersama kami!”

Pada waktu itu ia menjawab, “Bagaimana mungkin? Rasulullah telah menyumpahku untuk tidak mengayunkan pedangku kepada sesama Muslim!”

Tapi sang ayah yang cerdik (baca: licik) mengatakan bahwa Ali memerangi Mu’awiyyah karena ingin membalas dendam atas kematian Utsman. Dan ia juga mengingatkan Abdullah bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk mematuhi ayahnya.

Tapi, Abdullah yang berhati jernih kemudian berbalik memerangi Mu’awiyyah! Mengapa? Ia melihat Ammar bin Yassir dalam pasukan Ali. Hal itu mengingatkannya pada ‘keluhan’ Rasulullah tentang nasib Ammar bin Yassir: Celaka! Putra Summayah (Ammar) akan dibunuh sekelompok pembangkang!

Ketika Ammar terbunuh, Abdullah pun tersentak kaget, dan sadar apa yang sedang terjadi. Ia pun berteriak kepada kaum Mu’awiyyah, “Ammar telah terbunuh! Dan kalian pembunuhnya! Jadi, kalianlah kelompok pembangkan itu. Kalian berperang di jalan kesesatan!”

Dan selanjutnya, Abdullah yang diliputi kebingungan akhirnya meninggalkan medan perang, dan cenderung menyepi di masjid. “Apa urusanku dengan perang Shifin? Mengapa aku harus memerangi sesma Muslim?” katanya kepada diri sendiri.

Di lain pihak, Husain putra Ali agaknya marah kepadanya.

Sampai suatu hari, ketika Abdullah sedang duduk di masjid Rasulullah, Husain lewat di sampingnya. Abdullah kemudian berkata kepada orang-orang di masjid itu, “Tahukah kalian siapa penduduk bumi yang paling disukai penduduk langit? Dia adalah orang yang tadi lewat di samping kita! Dialah Husain bin Ali! Tapi, sejak peristiwa Shiffin, ia tidak lagi mengajakku bicara. Seandainya ia mau berbicara lagi denganku, itu lebih baik bagiku dari limpahan harta bergudang-gudang!”

Karena perkataannya itu, Abu Sa’id Al-Khudri, penasihat Husain, mengajaknya menemui Husain, untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya sikap Abdullah. Di hadapan Husain, ia bersumpah, “Demi Allah! Aku tidak mengayunkan pedang, tidak pula melepaskan anak panah (kepada pasukan Ali).”

Dengan keterangan itu, Husain pun tidak marah lagi kepadanya.

Demikianlah sekelumit kisah Abdullah bin Amr bin Ash, yang sifatnya berlawanan dengan ayahnya. Dia adalah orang yang pertama kali menulis hadis Rasulullah, dan mengungguli Abu Hurairah dalam hal periwayatan hadis. Dia juga mengkaji kitab-kitab Yahudi dan Nasrani, sehingga mengetahui ciri-ciri Rasulullah yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka. ∆

 

Sumber: buku 69 Pejung Islam, karya Novi Fajar Anggoro, Karya Agung, Surabaya 2009 (Dengan perubahan redaksi seperlunya).

Leave a comment