Kajian Wahyu Pertama (5): Saya Bukan Penyair!

Malaikat? Dalam fantasi Barat (Kristen) malaikat hampir selalu digambarkan sebagai wanita bersayap!

Dengan  kenyataan  (berdasar kutipan-kutipan  di  atas) bahwa kedatangan Jibril membawa wahyu pertama itu membuat Mu­hammad  bingung, bukan berarti kita lantas  bisa  membenarkan anggapan bahwa Muhammad buta huruf, karena anggapan ini tim­bul dari penafsiran (harfiah) yang apriori dan tidak berwawasan.  Padahal bisa  saja, jawaban Muhammad atas perintah iqra dari  Jibril yang membawa ‘spanduk’ bertulisan lima ayat Al-‘Alaq itu jus­tru menggambarkan alam pikiran Muhammad, yang tentunya  tidak luput  dari pengaruh trend (kecenderungan) atau arus  kebuda­yaan masyarakatnya.

Para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa seni  sastra di kalangan masyarakat Arab pada masa itu sudah mencapai pun­caknya, terutama yang berupa syair (sajak, puisi). Dengan ka­ta lain, di tengah masyarakat Arab pada waktu itu syair meru­pakan bentuk kesenian yang populer, sebagaimana film pada za­man  sekarang. Otomatis, bila pada era  perfilman  masyarakat menggandrungi  film  dan para bintang film,  maka  pada  ‘era persyairan’  tentu saja syair dan para penyairnya  juga  laku keras di tengah masyarakat. Hal ini jelas terekam dalam  Al-Qurãn,  bahkan  dalam Al-Qurãn ada surat yang  bernama  Asy-Syu’ara (para penyair), yaitu surat ke-26.

Dengan mengingatkan kenyataan demikian, penulis  ingin mengajukan suatu asumsi (perkiraan, anggapan) sehubungan  de­ngan  jawaban Muhammad terhadap Jibril yang berbunyi  ma  ana biqãri’:

Pertama, pihak yang menerjemahkan kata iqra secara harfiah meng­artikan jawaban tersebut sebagai pengakuan bahwa Muhammad bu­ta huruf. Mereka ‘menguatkan’ anggapan tersebut dengan menga­jukan  dalil lain, yaitu istilah  an-nabiyul-ummiyyu,  antara lain  dalam surat Al-A’raf ayat 157. Tapi  kata  Fuad  Hashem (hal.  63): Kata “ummiy” itu sebenarnya dapat  berarti  “buta agama karena belum memperoleh kitab suci.” Selain itu, secara harfiah  “ummiy” juga bisa berarti “keibuan”  (maternal,  mo­therly). Tentu saja Nabi Muhammad sebagai lelaki tidak  mung­kin disebut “Nabi yang bersifat keibuan”. Namun perlu diingat juga bahwa sifat keibuan merupakan lambang bagi perlindungan, kasih-sayang, kedamaian, pembimbingan, dan sebagainya.

Kedua,  pihak yang mengartikan iqra sebagai  perintah untuk membaca situasi agaknya kurang  memperhatikan  alasan­-alasan  yang mendorong Muhammad ‘mengasingkan diri’ dari  ma­syarakatnya, yang jelas dilakukannya karena ia sudah ‘membaca situasi’ yang demikian memuakkan. Jadi, Muhammad sudah demikian serius dan tekun membaca situasi sebelum disuruh. Perja­lanan berdagangnya, yang membuatnya mondar-mandir antara Mak­kah Syria, tentu juga memberikan pengalaman yang tidak  sedi­kit untuk bahan perenungan.

Ahmad Syafii Maarif juga menegaskan bahwa  Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul, bertahun-tahun lebih dulu terlibat  dalam pemikiran dan kontemplasi yang  mendalam  dan kadang-kadang  sangat  menegangkan dalam  membaca  masyarakat komersial  kota Makkah yang zhalim itu. Menurutnya, ada  tiga fenomena  sosiologis-religius yang disimpulkannya dari  data sosial yang dibacanya selama bertahun-tahun itu.  Pertama, po­liteisme yang merajalela di mana-mana. Kedua, kesenjangan sosio-ekonomi yang parah antara yang punya dan tidak punya. Ke­tiga,  tidak adanya rasa tanggungawab terhadap nasib  manusia seccara keseluruhan.[1]

Ada juga pihak yang mengatakan bahwa pemba-caan  situasi yang dimaksud adalah pembacaan dengan alat atau bantuan  wah­yu.  Boleh jadi. Tapi bagaimana mungkin perintah  menggunakan alat datang sebelum alatnya disediakan?

Dengan demikian agaknya masih terbuka kemungkinan untuk menemukan makna yang lain, yang mudah-mudahan merupakan makna yang jitu.

Jawaban Muhammad yang berbunyi ma  ana bi-qãri’,  bisa jadi merupakan gambaran dari jiwa Muhammad yang tidak  terle­pas  dari kenyataan masyarakatnya yang secara  umum  menggan­drungi syair dan penyair. Philip K. Hitti dalam bukunya  bah­kan menyebutkan bahwa cinta orang (Arab) Badawi terhadap sya­ir adalah satu-satunya harta kebudayaannya. Penyair bagi  me­reka berperan sebagai pandu, penasihat, ahli pidato, juru bi­cara, ahli sejarah, dan sarjana.[2]

Ketika  Jibril datang dengan membawa  ‘spanduk’  berisi tulisan,  mungkin Muhammad mengira bahwa yang  dibawa  Jibril itu  adalah sebuah syair. Karena itu, waktu  Jibril  menyuruh untuk membacanya, Muhammad menjawab ma  ana bi-qãri’.

Dalam pengertian umum qãri’ adalah orang yang  membaca atau pembaca. Tapi dalam masyarakat Arab pada masa itu, mung­kin artinya (yang konotatif) adalah pembaca syair, dalam arti deklamator (ahli baca  syair), atau penyair, dalam arti pengarang syair  (yang bisa  merangkap  sebagai deklamator). Jadi, di  sini  penulis berasumsi  bahwa Muhammad salah paham terhadap  perintah  Ji­bril. Di satu pihak Jibril menyuruhnya membacakan dalam  arti menda’wahkan wahyu yang dibawanya itu, di lain pihak Muhammad mengira bahwa Jibril menyuruhnya membacakan ‘syair’ yang ter­tulis dalam spanduk itu. Karena itulah ia menjawab ma  ana biqãri’. Artinya: saya ini bukan penyair/pembaca syair.

Penulis  sadar  betul bahwa asumsi ini  harus  didukung pembuktian bahwa sebutan qãri pada masa itu ditujukan  kepada penyair  atau deklamator. Namun untuk sementara  penulis  bisa ajukan  data  bahwa (seperti kata Thabari yang  dikutip   Fuad Hashem  di atas) Muhammad setelah menerima wahyu  pertama  itu begitu  cemas kalau-kalau dirinya akan disebut  penyair  atau orang gila.

Kecemasan  tersebut pada satu sisi menggambarkan  bahwa Muhammad tahu betul tentang hobi masyarakatnya terhadap  sya­ir, dan pada sisi yang lain menggambarkan bahwa Muhammad  cu­kup tahu hal-ihwal penyair. Jelasnya, Muhammad tahu bahwa  o­rang Arab pada masa itu menggandrungi para penyair yang  pada umumnya berakhlak jelek, dan syair-syair mereka pun penuh de­ngan ajakan pada kebatilan. Karena itulah berulang-ulang  ia mengatakan kepada Jibril bahwa ia bukan penyair atau  pembaca syair.

Dalil yang lain yang bisa diajukan adalah surat Yasin ayat 69: Kami (Allah) tidak mengajarkan sya’ir kepadanya (Muhammad), karena hal itu tidak layak baginya…

Selain itu, istilah qãri di kalangan masyarakat  Arab hingga saat ini agaknya mempunyai pengertian tertentu,  yaitu ditujukan  kepada pembaca Al-Qurãn, karena Al-Qurãn  mereka  anggap sebagai bacaan standar. Pada masa Jahiliyah, kira-kira, baca­an standar mereka adalah syair. Bahkan istilah qãri ini  ada kemungkinan justru lahir dari masyarakat yang gandrung  syair itu.


[1] Al-Qur’an, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah(Sebuah  Refleksi), hal. 103, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985.

[2] Dunia Arab, hal. 31, terjemahan Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Sihom­bing dari The Arabs/A Short History, karya Philip K. Hitti.

Comments
11 Responses to “Kajian Wahyu Pertama (5): Saya Bukan Penyair!”
  1. anonim says:

    walah…ini tafsir apalagi ni ?….calon rasul kok bisa salah paham perintah………atau malaikatnya yang tidak ahli menyampaikan perintah, hingga yang menerima salah paham

  2. Ahmad Haes says:

    Setelah jadi rasul pun Muhammad masih melakukan kesalahan. Salah satunya direkam dalam surat Abasa.

  3. anonim says:

    sebagai manusia biasa Muhammad tak luput dari salah, tapi Mengapa anda menjadikan ini dasar kajian anda atau untuk membenarkan kajian anda ? emang nyambung atau disambung-sambungin? dengan begitu anda tidak jauh beda dengan kyai atau uztad yg mengatakan Muhammad itu buta huruf, gak bisa baca. eh….Mungkin anda lebih baik…sekelas “musa – samiri”.

  4. Ahmad Haes says:

    1. Kalau anda pernah belajar teori ilmu,ukur saja tulisan saya dengan itu. Jangan ukur dengan nafsu menyalahkan. 2. Ruang komentar ini terbuka untuk memuat bantahan ilmiah anda, walau saya juga tidak menutup caci-maki anda. Silakan.

  5. harta sujarwo says:

    kalau suka menyalahkan tanpa teori ilmu Allah itu namanya iblis yg merasa lbh khair, kalau suka mengada2 sesuatu yg tak ada itu namanya mukadzibuun. anonim kalau ente baca tulisan di atas dengan seksama pasti ente gak salah paham. apakah kalian tidak memperhatikan dengan pandangan AQ msr yg menjadikan suara hatinya sebagai tuhannya.?sehingga allah menutup daya wawasnya

  6. sutrisno says:

    bagaimana pengertian ummiyyuuna la ya’lamuunal kitab di QS.2:78? apakah seperti terjemahan depag, yaitu orang-orang yang buta huruf tidak mengetahui alkitab? atau ada makna lain?

  7. Ahmad Haes says:

    Perhatikanlah! Mengapa kata ummiyyuuna di situ dihubungkan dengan ya’lamuuna, bukan yaqra’uuna? Dan mengapa berikutnya ada kata illa amaaniyya? Itu adalah isyarat yang sangat nyata bahwa penertian ummiy di sini bukan tidak bisa membaca (buta huruf), tapi tidak tahu (tidak memahami, tidak menguasai), tapi mereka mengaku tahu atau merasa tahu (= sok tahu). Padahal, kata Allah, mereka hanya ber-amaaniyya (berkhayal), alias hanya mengira diri tahu (ge-er). Perhatikan pula betapa rancunya Bahasa Indonesia dalam terjemahan Depag! “… buta huruf, tidak memahami Kitab (Taurat), …” Kalau buta huruf seharusnya tidak bisa membaca, bukan tidak memahami!

  8. sutrisno says:

    1. Memaknai ummiy dengan buta huruf adalah pemaknaan yang sempit. Kaum yang ummiy tidak bisa dimaknai dengan kaum yang buta huruf, begitu juga dengan nabi yang ummiy tidak berarti nabi yang buta huruf.
    2. Karena itu, kata ummiyuuna di QS. 2:78 tidak terangkai dengan kata laa yaqrauuna, karena boleh jadi seorang yang ummiy bisa membaca, sekedar membaca tapi tidak mengetahui isi bacaannya.
    3. Seorang yang ummiy juga tidak berarti tidak memahami kitab. Apakah nabi yang ummiy berarti nabi yang tidak memahami kitab? sebelum menjadi nabi bisa saja ia tidak memahami kitab, tetapi setelah jadi nabi?
    4. Dan jika ummiy berarti buta huruf, lalu apa kaitannya dengan arti ummiy yang lain, yaitu keibuan?
    5. Pendapat diatas tidak berarti saya bersepakat bahwa Muhammad melek huruf. Melek/buta huruf tidak terkait dengan kemampuan memahami kitab. Jadi pertanyaan yang belum selesai adalah: apakah makna ummiy sesungguhnya?
    6. Pertanyaan lainnya: apakah membaca selalu terkait dengan teks? apakah di Gua Hiraa Jibril membentangkan teks? Kalau Muhammad disuruh membaca teks yang dibentangkan Jibril, seperti apa aksaranya? apakah aksara wahyu pertama itu sama seperti aksara Alquran yang kita baca saat ini? Apakah wahyu turun lengkap dengan bahasa + aksaranya? yang jelas, saat itu di gua Hiraa, tidak terjadi proses belajar-mengajar membaca antara Jibril dengan Muhammad!

  9. Ahmad Haes says:

    Sangat menarik! Saya jadi tergugah untuk mempelajari kembali. Terimakasih. (Saat ini belum bisa/sempat menjawab. Bila ada pembaca yang bersedia menyumbangkan jawaban, silakan!)

  10. caknan says:

    Pak bisakah para pemimpin dari kalangan sarjana propesor intelektual dikatakan kalangan ummiy ? jika mengukur benar salah menurut ayat ayat / undang undang bikinan mereka sendiri .(selain Al Qur,an )
    sehingga hasil kepemimpinanya kacau balau seperti yang kita lihat dan kita rasakan sekarang ini .

    kalau memang begitu mungkin Muhammad dulu juga dari ka;langan orang inetelek pada jamannya tapi belum kenal Al Qur,an
    sehingga disebut dari kalangan ummiy menurut Al Qur,an.

    apakah memahami informasi selain dari teks juga bisa di sebut juga membaca ?

  11. Ahmad Haes says:

    1. Bisa, 2. Mungkin.

Leave a comment