Aku Tergila-gila Bahasa Arab!

 

Ini kisah seorang gadis yang ketika berusia 16 tahun berkunjung ke Masjid Al-Hambra, Granada, Spanyol. Di sana ia terpana melihat kaligrafi Arab yang terukir di tembok masjid, dan segera jatuh cinta pada pandangan pertama. Gadis itu – kini bernama Karima Burns – akhirnya menjadi muslimah.

Aku duduk di dalam Masjid Al-Hambra di Granada, Spanyol, memandang ke arah tulisan yang membatasi dinding-dinding. (Itu adalah tulisan dari) bahasa yang  paling indah yang pernah kulihat. “Bahasa apakah itu?” tanyaku kepada para wisatawan Spanyol.

“Bahasa Arab,” jawab mereka.

Hari berikutnya, ketika pemandu perjalanan (seorang wanita) menanyaiku tentang buku panduan berbahasa apa yang kuperlukan, aku mengatakan, “Bahasa Arab.”

“Bahasa Arab?” tanya wanita itu, kaget. “Anda bisa berbahasa Arab?”

“Tidak,” sahutku. “Bisakah anda beri juga saya buku berbahasa Inggris?”

Di akhir perjalananku, kudapati tasku sudah penuh dengan buku-buku panduan tentang berbagai situs yang kukunjungi di Spanyol, dalam bahasa Arab. Tasku benar-benar penuh, sehingga aku harus mengeluarkan beberapa potong pakaian dari situ supaya bisa memuat semua buku yang kudapat. Aku benar-benar menjaga ketat buku-buku berbahasa Arab itu, seolah-olah semua terbuat dari emas.

Aku membukanya setiap malam dan memperhatikan huruf-hurufnya yang ‘mengalir’ di setiap halaman. Aku membayangkan bisa menulis huruf-huruf yang indah itu, dan berpikir bahwa pastilah akan kutemukan sesuatu yang bernilai di dalam budaya yang memiliki bahasa yang artistik (indah) ini.  Aku bersumpah untuk mempelajari bahasa ini pada saat aku memulai kuliahku di musim gugur nanti.

Hanya dua bulan sebelumnya, aku meninggalkan keluargaku di Iowa untuk pergi ke Eropa, sendiri. Ketika itu aku baru berusia 16 tahun dan akan mengikuti kuliah di Northwestern University di musim gugur dan, sebelum kuliah, aku ingin “mengenal dunia” dahulu. Setidaknya, itulah yang kukatakan kepada teman-teman dan keluargaku.

Tapi sebenarnya, waktu aku sedang mencari sejumlah jawaban. Aku baru meninggalkan gereja beberapa bulan sebelumnya dan aku tak tahu akan beralih ke mana. Aku merasa tidak nyaman menerima segala sesuatu yang diajarkan, tapi aku tidak tahu satu pun pilihan yang lain.

Di tempatku dibesarkan di Midwest, tidak ada ruang untuk kebingungan. Kami hanya tinggal memilih menjadi anggota gereja atau tidak. Jadi, aku tidak tahu ada pilihan lain. Ketika aku berangkat ke Eropa, aku memang berharap untuk menemukan pilihan yang lain itu.

Di gerejaku, kami tidak diijinkan untuk berdoa kepada Tuhan. Kami hanya boleh berdoa kepada Yesus dan berharap agar dia menyampaikan doa kami kepada Tuhan. Secara naluri, aku merasakan ada suatu kesalahan, sehingga tanpa memberi tahu siapa pun, aku berdoa kepada “Tuhan”. Aku percaya sepenuh hati bahwa hanya ada satu dzat yang layak disandari doa. Tapi aku merasa berdosa, karena melakukan sesuatu yang tak pernah diajarkan kepadaku.

Jadi, ada hal yang membingungkan dalam kehidupan sehari-hari setiap orang. Aku pergi ke geraja dengan patuh setiap Minggu dan sangat bersungguh-sungguh dengan ajaran yang kuterima tentang kejujuran, kebaikan dan kasih sayang. Tapi aku bingung ketika menyaksikan orang melakukan hal-hal berbeda sepanjang pekan. Tidakkah ada peraturan untuk kehidupan selama seminggu? Apakah peraturan-peraturan yang ada itu hanya untuk diterapkan di hari Minggu? Aku mencari petunjuk… tapi tak kutemukan.

Aku memang menemukan Sepuluh Perintah (The Ten Commandments), yang mencakup hal-hal yang jelas seperti pembunuhan, pencurian dan dusta. Tapi selain itu, aku tidak menemukan petunjuk apa pun yang bisa dipakai di luar gereja.

Waktu itu aku hanya tahu: barangkali salah kalau mengenakan pakaian mini ke gereja, dan hanya mengikuti Sekolah Minggu karena di sana bisa bertemu para pemuda ganteng.

Suatu hari, aku berkunjung ke rumah seorang guru, dan di sana kulihat sebuah rak buku yang penuh dengan deretan Bibel. Aku menanyakan buku apakah itu? “Berbagai versi Bibel”, jawab guruku.

Tampaknya dia tidak bingung dengan begitu banyaknya versi Bibel itu. Tapi aku bingung. Beberapa di antara Bibel-Bibel itu benar-benar saling berbeda, dan beberapa bab bahkan tidak kudapati dalam versi yang kumiliki. Aku benar-benar sangat bingung.

Musim gugur itu, aku kembali ke kampus dengan rasa kecewa karena tidak mendapatkan jawaban apa pun di Eropa, selain rasa tertarik yang luar biasa pada sebuah bahasa yang baru kuketahui keberadaannya – bahasa Arab.

Sungguh memprihatinkan karena aku tak tahu bahwa jawaban yang kucari itu sebenarnya terdapat di balik huruf-huruf yang kutatap di Masjid Al-Hambra itu! Aku baru mengetahuinya beberapa tahun kemudian.

Satu-satunya hal yang kulakukan ketika sampai di kampus adalah… mendaftarkan diri di jurusan Bahasa Arab. Dan ternyata aku hanyalah salah satu dari tiga orang yang mendaftar di jurusan yang sangat tidak populer itu.

Aku menceburkan diri sedemikian rupa ke dalam ketekunan mempelajari Bahasa Arab, sehingga dosenku menjadi bingung. Aku mengerjakan tugas rumah (PR) dengan menggunakan pena kaligrafi. Aku pergi ke perkampungan Arab di Chicago hanya untuk mencari botol Coca Cola bertulisan huruf Arab. Aku mengemis kepada dosenku agar dia meminjamiku buku-buku berbahasa Arab agar bisa mempelajari huruf-hurufnya.

Memasuki tahun kedua kuliahku, aku memutuskan untuk mengikuti Middle Eastern Studies (Kajian-kajian Timur Tengah). Karena itu, aku mendaftar di kelas-kelas yang memusatkan kajian mereka pada kawasan itu. Di sebuah kelas, kami mengkaji Al-Qurãn.

Suatu malam, aku membuka Al-Qurãn untuk mengerjakan PR, dan aku tak bisa berhenti membacanya. Aku merasa seperti sedang menekuni sebuah novel yang bagus. Aku berkata pada diri sendiri, “Wow, ini keren! Inilah segala sesuatu yang selalu kupercayai dan kucari. Inilah jawaban-jawaban untuk semua pertanyaanku tentang apa yang harus kulakukan sepanjang minggu, dan buku ini bahkan menyatakan dengan tegas bahwa hanya ada satu Tuhan.”

Semua serba masuk akal. Aku heran bahwa buku ini justru berisi segala sesuatu yang kupercayai dan kucari selama ini.

Esoknya, aku berangkat ke kampus dengan niat menanyakan siapa para pengarang buku itu, agar aku bisa membaca buku-buku lain yang mereka tulis.

Pada buku yang diberikan kepadaku, tertulis sebuah nama. Kukira itulah nama penulisnya. Aku membandingkannya dengan Bibel yang ditulis oleh St. Lukas atau buku agama-agama lain yang pernah kupelajari… yang semua mengacu pada nama para penulis masing-masing.

Profesorku mengatakan bahwa buku itu (Al-Qurãn) tak ada penulis-(pengarang)-nya. Nama yang tertulis di situ adalah nama penerjemahnya; karena menurut para Muslim, tak ada orang yang merupakan penulis buku itu. Al-Qurãn menurut MEREKA (maksudnya para Muslim; proffesorku seorang Kristen) adalah kata-kata Tuhan dan tidak pernah berubah sejak diilhamkan (inspired), dibacakan, dan kemudian dicatat.

Tak usah dikatakan, aku jadi tertarik bukan lagi hanya pada kajian Bahasa Arab, tapi juga pada Islam, dan ingin pergi ke Timur Tengah.

Tahun senior-ku di kampus, akhirnya aku pergi ke Mesir untuk melanjutkan studiku. Tempat yang paling kusukai untuk dikunjungi adalah “Islamic Cairo”. Di sana, masjid-masjid selalu memberiku rasa senang dan khidmat (takut dan hormat). Kurasa, dengan ada di dalam masjid, orang benar-benar merasakan keindahan, kekuasaan dan wibawa Allah. Dan, seperti sebelumnya, aku selalu merasa nikmat ketika menatap kaligrafi anggun di setiap dinding masjid.

Suatu hari, seorang teman bertanya mengapa aku tidak masuk Islam saja bila aku memang begitu menyukainya?

“Tapi, aku sudah  menjadi Muslim(ah)!” jawabku.

Aku terkejut dengan jawabanku sendiri.

Tapi kemudian aku sadar bahwa hal itu hanyalah soal logika dan akal sehat.

Islam itu masuk akal. Islam mengilhamiku. Aku tahu Islam itu benar.

Mengapa aku harus menyatakan masuk Islam?

Kata temanku, itu hanya soal supaya aku “menjadi resmi” sebagai penganut Islam. Aku harus pergi ke masjid untuk menyatakan niatku di depan dua orang saksi.

Jadi, aku pun bersyahadat, dan menerima sertifikat sebagai Muslimah.

Tapi, di rumah, sertifikat itu kumasukkan ke dalam file di sebuah lemari, bergabung dengan catatan kesehatan dan hal-hal lain yang bersifat pribadi.

Padahal, seharusnya sertifikat itu kutempel di dinding.

Tapi, aku selalu merasa sebagai Muslimah.

Aku merasakan hal itu pada menit pertama ketika aku meraih Al-Qurãn.

Pada menit pertama ketika aku membukanya, aku merasa menemukan keluargaku yang telah lama hilang.

Daripada menempel sertifikat itu di dinding, lebih baik aku menempel gambar Masjid Al-Hambra saja!

Alamat asli naskah ini:

http://www.islamreligion.com/articles/3661/

Copyright © 2006-2010 IslamReligion.com. All rights reserved.

Published on 17 May 2010 – Last modified on 24 May 2010

Comments
4 Responses to “Aku Tergila-gila Bahasa Arab!”
  1. Sudianto Abdurachim says:

    Assalamu alaikum wa rrahmatullahi wa barrakatuh, Alhamdulillah anda telah mendapatkan hidayah dari Allah SWT, selamat … semoga menjadi Muslimah yang sholehah dan Khusnul khotimah.

  2. akbar says:

    Assalamua alaikum wa rrahmatullahi wa barrakatuh,maap saya cuma mau tanya kaligrafi arab yg menyerupai macan apa sih artinya saya bingung baca nya tolong kasih tau saya ya.trmkasih

  3. Ahmad Haes says:

    Saya sendiri belum tahu. Agaknya kaligrafi spt ini dibuat bukan untuk dibaca, tp hanya untuk dipandang. Seharusnya pembuatnya menyebutkan ayat atau hadis atau pepatah apa yg ditulisnya. Bila tidak, butuh usaha keras untuk membacanya, yaitu dengan cara mengurainya spt mengurai benang kusut. Dg kata lain, butuh ilmu dan latihan tersendiri utk membacanya, dan itu tak terlalu penting, saya kira. Lebih baik baca saja ayat atau hadis dll yg ditulis dengan jelas.

  4. akbar says:

    oh ya udah trimakasih atas penjelasan nya.

Leave a comment